Saat Deadline Memuncak : Tips Menghadapi Mata Kering Saat Burnout

 

Sejak pandemi, saya terbiasa bekerja dari rumah: meeting online, revisi laporan, hingga mengejar presentasi klien. Tekanan deadline yang menumpuk membuat saya semakin terjebak di depan layar. Setiap pagi dimulai dengan membuka laptop dan diakhiri dengan memaksakan mata untuk melihat grafik bahkan ketika pikiran sudah ngos-ngosan. Begitu pun di malam hari, lampu kamar redup tetapi layar gadget tetap menyala terang benderang.

Awalnya, hanya rasa sepet ringan yang hilang seketika setelah berkedip. Lalu satu malam, tiba-tiba saya merasakan perih setiap kali mata berkedip. Jantung berdebar, karena saya sedang berjuang mengejar target quarter-end. Belum lagi gejala lelah yang tak hanya dirasakan tubuh, tetapi juga merambat ke sudut mata, seperti ada beban yang tak terlihat. Saya ingat satu pepatah sederhana: mata kering jangan sepelein. Saya sempat menepisnya, berpikir ini hanya “efek kerja keras” atau “drama burnout” biasa—padahal ini adalah tanda awal yang krusial.

Saat itu, saya juga tengah bergulat dengan kekhawatiran ringan tentang performa: suara berbisik “apakah kamu masih kompeten?”, “apakah presentasi besok cukup meyakinkan?” Semakin saya mencoba memaksa diri, semakin kuat pula gejala mata kering yang mengganggu. Hingga suatu saat, seorang rekan menyarankan, “Coba tetesin Insto Dry Eyes sebelum lanjut kerja. Aku pakai tiap merasa mata mulai protes.” Saya ragu bukan takut, tetapi saya berpikir, “Sepele sekali, apa obat tetes mata bisa membantu susah fokus saya?” Namun, saya tak punya pilihan lain selain mencoba.

Burnout : Saat Mata Perih dan Merah Mengekang Ide

Waktu itu adalah malam minggu terakhir kuartal, di mana semua laporan finansial harus rampung. Saya mengunci diri di kantor selepas makan malam. Lampu ruangan hanya menyala di meja kerja, layar monitor yang memancarkan sinar biru. Setiap kali saya scroll data, mata terasa seperti terbakar, seperti ada jutaan butir debu halus menempel. Rasa perih menjalar hingga dahi, memaksa saya mengusap pelan kelopak mata.

Saya memejamkan mata sejenak, berharap gejala lelah ini reda. Namun, bukannya membaik, mata saya justru mulai memerah. Dalam cermin kecil di sudut meja, saya melihat bola mata yang memerah, kelopak menutup perlahan menahan nyeri. Hati saya teriris—bagaimana mungkin saya bisa menyelesaikan presentasi jika jendela dunia saya terganggu?

Di sela-sela rapat virtual, saya menahan sakit demi menjaga profesionalisme. Tangan gemetar menekan tombol “share screen”, sementara suara melirih dalam hati: “Fokus, kau bisa.” Tetapi mata saya menolak diajak kompromi. Saya pun teringat komentar rekan: “Insto Dry Eyes itu praktis; selalu bawa di tas laptop.” Malam itu, saat seluruh ide terasa terkunci, saya menggenggam botol kecil itu.

Dengan gerakan perlahan karena takut salah tetes, saya tetesin Insto Dry Eyes. Satu tetes untuk mata kiri, satu tetes untuk mata kanan. Saya menutup mata, menarik napas panjang, dan membiarkan sensasi dingin meresap ke kornea. Rasa sepet dan perih perlahan teredam, meninggalkan sensasi lembap yang menenangkan. Sejenak, saya terbayang berbaring di sofa ruang tamu, bukannya terkurung di antara tumpukan berkas.

Dalam hitungan menit, pandangan saya kembali jernih. Warna presentasi Excel yang tadinya kabur, kini kembali tajam. Saya membuka slide, lalu melanjutkan penjelasan ke tim. Suara saya stabil, key point mengalir lancar seolah tak ada gangguan. Tanpa harus ke dokter, saya menemukan solusi sederhana yang jadi penyelamat semalam itu.

Menjaga Produktivitas, Insto Dry Eyes sebagai Sahabat Saat Burnout

Sejak malam krusial itu, saya menaruh Insto Dry Eyes di semua saku: saku jaket, dompet kerja, hingga laci kantor. Bukan hanya untuk keperluan saat lampu kota sudah padam, tapi juga sebagai reminder: jangan anggap gejala kecil sebagai perkara sepele. Berikut pelajaran yang saya bawa:

  1. Mendengarkan Sinyal Tubuh
    Setiap kali mata terasa Sepet, Perih, Lelah, saya berhenti mengetik, meletakkan tangan, dan memberi jeda. Cukup 30 detik untuk memejamkan mata, lalu tetesin Insto Dry Eyes.

  2. Mengatur Jeda Kerja
    Saya menerapkan metode 50-10: 50 menit fokus bekerja, 10 menit istirahat. Di sela istirahat itu, saya berdiri, berjalan ke pantry, atau menatap tanaman kecil di meja—sesederhana itu bisa memulihkan mood dan mengurangi ketegangan mata.

  3. Lingkungan Ramah Mata
    Saya memasang filter cahaya biru di laptop dan ponsel. Jika ruangan terlalu dingin karena AC, saya alihkan aliran angin agar tidak langsung mengenai wajah. Semua untuk mengurangi risiko mata kering akibat udara kering dan sinar biru yang berlebihan.

  4. Insto Dry Eyes: Kecil tapi Berdaya
    Botol Insto mungkin terlihat “sepele”, namun bagi saya, ia adalah sahabat yang selalu siap. Di tengah deadline yang menyesakkan, satu tetesnya memberi jeda—membuat mata kembali siap menatap angka dan kata.

Kini, setiap kali saya merasa beban kerja menumpuk dan burnout mengintai, saya tak lagi meremehkan kondisi mata. Saya percaya, produktivitas dan kesehatan berjalan beriringan. Mata adalah jendela kreativitas dan kinerja, jika terganggu, seluruh ritme kerja bisa berantakan.

Jadi, jika suatu saat kamu diuji oleh mata kering, ingat satu kalimat sederhana: mata kering jangan sepelein. Saat Sepet, Perih, atau Lelah mulai mengintai, sediakan waktu singkat untuk istirahat, dan jangan lupa tetesin Insto Dry Eyes. Karena sering kali, solusi terbaik adalah yang paling praktis dan dekat di tangan.

Comments

Popular Posts